Senin, 03 Desember 2012

Umat Ini Akan Mengikuti Kaum-kaum Sebelumnya


Dari: 100 Hadits Tentang Nubuat Akhir Zaman
Abdur Rahman Al-Wasithi
Az-Zahra Mediatama
Hal. 18-26
 
"Kiamat ini tidak akan terjadi sampai umatku kelak meniru bangsa¬bangsa sebelumnya seperti sama persisnya jengkal dengan jengkal dan hasta dengan hasta. " Maka, ada yang bertanya: "Wahai Rasulullah, seperti bangsa Persia dan Romawi?" Beliau bersabda: "Siapakah manusia itu selain mereka?1)
Dalam riwayat lain dari Abu Sa'id: "Kami bertanya kepada Rasulullah: "Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa (jika bukan mereka) ?2)

 Persia dan Romawi merupakan dua negara adikuasa di masa lalu.  Sebelum datangnya Islam, peradaban dan kebudayaan dua imperium itu menjadi simbol bagi sebuah kemajuan dan kemapanan gaya hidup.  Dan kelak di akhir zaman, peradaban keduanya akan kembali memegang kendali dunia, bahkan - sebagaimana nubuwat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas¬ dunia Islam pun akan hanyut dalam peradaban yang diusung oleh keduanya.
lnilah realita kehidupan yang membenarkan sabda beliau. Sebagian besar kaum muslimin telah tertimpa fitnah tasyabbuh bil kuffar (meniru gaya dan tradisi orang kafir), dari cara bergaul, berpakaian, tradisi hari raya, bahkan tata cara ibadah mereka banyak ditiru oleh kaum muslimin.
Lima Karakter Peradaban Barat dan Implikasinya terhadap Umat Islam
Yusuf Al-Qardhawi memaparkan beberapa point penting tentang karakter peradaban barat ini yang menurut hemat penulis memiliki implikasi yang sangat luas terhadap umat Islam. Dalam bukunya 'Al¬Islam Hadharatul Ghadd', beliau memaparkan 5 karakter dasar utama tentang pilar peradaban ini. Berikut kami paparkan secara singkat:
1. Mereka Tidak Mengenai Allah
Peradaban ini tidak mengenai Allah dengan pemahaman yang benar, yang dapat mengantar pada keyakinan yang benar tentang Yang Maha pencipta alam dan Yang Maha Pengatur; Tidak pula Barat mengenal hakekat ketuhanan yang Maha sempuma, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Baik lagi Maha Penyayang. Yang demikian disebabkan karena mereka tidak mengenal kenabian yang membukakan pintu ke sana, dan kewahyuan yang ma'shum, sebagai epistimologi metafisika.
Dari sana pemikiran Barat berjalan sendiri mencari dan menyelidiki "sebab pertama" atau "Penggerak Pertama" atau "Yang wajib adanya", lalu tersandung dan berhenti pada titik kebingungan. Bahkan, para filosuf yang disebut dalam sejarah filsafat sebagai para filosuf teolog pun yaitu mereka yang mengakui Tuhan secara umum seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang menolak atheisme, tidak memunyai konsep tentang Tuhan secara jelas, melainkan satu konsep yang tidak utuh yang banyak bercampur dengan imajinasi skeptikal.
Sebagai contoh Tuhan menurut Aristoteles, seorang yang dipandang filosuf kelas wahid oleh bangsa Yunani kuno, tidak jelas apakah Tuhan seperti yang dikenal oleh kita; Yang Maha Pencipta segala sesuatu, pemberi hidup kepada segala yang hidup, Pengatur segala urusan, Yang Mengetahui segala yang telah lalu dan yang akan datang dan yang sekarang, Yang Maha berbuat menurut kehendak-Nya, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu? Ataukah Tuhan lain selain Tuhan yang kita kenal? Jawaban pertanyaan ini dapat dipahami dari salah seorang sejarawan tentang filsafat modern, Wil Durant dalam tulisannya berjudul "Gerlap¬gerlap Filsafat", mengatakan: ''Aristoteles menggambarkan Tuhan dengan satu jiwa yang mengisi Zat diri-Nya dan diri-Nya juga jiwa lain, yang tidak dapat diindra dan sangat rahasia. Sebab Tuhan Aristoteles tidak melakukan pekerjaan apa pun, tidak memunyai keinginan dan kehendak serta maksud efektifitasnya suci murni sampai tarap yang membuat-Nya tidak berbuat apa pun. Dia sempurna dengan kesempurnaan mutlak, oleh karenanya Dia tidak perlu menginginkan sesuatu apa pun dan karenanya pula tidak berbuat apa pun! Tugas satu-satunya adalah merenungkan inti segala sesuatu dan bentuk segala sesuatu. Oleh karenanya pekerjaan satu-satunya adalah merenungkan Dzat diri-Nya sendiri.
Alangkah menyedihkan Tuhannya Aristoteles! Tuhannya Aristoteles tidak ubahnya seorang raja yang tidak mengatur dan tidak mengikat. Raja bersinggasana tetapi tidak memerintah!"
Tidak mengherankan bilaAristoteles disukai oleh orang-orang Inggris.  Sebab, Tuhan Aristoteles dengan jelas menggambarkan raja mereka dengan tepat, atau raja mereka adalah duplikat Tuhannya Aristoteles sendiri." Jika Tuhannya Aristoteles dikatakan menyedihkan, karena tidak dapat mengatur dan tidak mengikat di alam ini, lebih menyedihkan lagi Tuhannya Plato, yang dinisbahkan kepadanya aliran Neo-Platonisme. Sebab Tuhannya tidak merenung sama sekali sampai pada dirinya sendiri pun tidak.
Karakter peradaban ini dapat kita lihat pada kehidupan kaum muslimin dalam bentuk paham-paham sesat dalam persoalan akidah.  
Munculnya aliran sesat, ajaran Sai Baba yang menyamaratakan semua agama dan klaim bahwa setiap manusia memiliki sifat-sifat ketuhanan, paham wihdatul wujud (manunggaling kawula lan gusti), ajaran Trinitas yang dianggap memiliki kesamaan dengan akidah Islam, semua itu adalah bagian kecil dari fenomena tasyabbuh kaum muslimin terhadap cara berfikir bangsa barat tentang konsep ketuhanan.
Cara berfikir komunitas Islam Liberal yang menganggap adanya wilayah tertentu yang bebas dari Tuhan (sebagaimana yang pernah terjadi di Bandung), atau keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak boleh campur tangan dalam urusan-urusan manusia, adalah sebuah contoh kecil bagaimana paham sesat itu telah banyak diadopsi oleh kaum muslimin.
2. Paham Materialisme.
Implikasi paham ini adalah timbulnya sikap memercayai sesuatu hanya pada hal yang memiliki kaitan dengan materi kebendaan, yang akhirnya melebar dalam memberi interpretasi alam, ilmu pengetahuan, dan moral. Paham ini juga mengingkari hal-hal yang bersifat metafisis, hal-hal yang gaib seperti adanya Tuhan Pencipta alam ini, tidak meyakini adanya Rasul yang mendapatkan wahyu; tidak meyakini adanya ruh abadi bagi manusia dan tidak pula adanya kehidupan lain setelah kehidupan dunia; tidak meyakini adanya alam lain yang bersifat gaib selain dunia indrawi sekarang ini; tidak meyakini adanya niai-nilai ideal yang berada di atas manfaat dan kenikmatan kekinian. Sebab semua ini tidak dapat dilihat oleh indra dan berada di luar jangkauan pengamatan dan eksperimen ilmiah rasional.  Jadi, pemikiran Barat adalah pemikiran materialisme yang mencemooh spiritualitas; indrawi yang tidak menyertakan hal-hal metafisis; realistis yang tidak memercayai idealisme.
Aliran materialisme ini telah mendominasi kehidupan Barat modern, baik dari sisi teoritis maupun dari sisi praktis, hingga dikenal oleh kalangan terpelajar yang mendalami oksidentalisme modern bahwa agama yang sebenarnya di Barat sekarang adalah materialisme. Agama bukanlah sistem nilai bagi mereka untuk diterjemahkan dalam sikap dan perilaku, dan bukan sistem keyakinan yang harus dipatuhi dan dijadikan acuan bagi model hidup. Orang Barat modern jika diamati hakekatnya, akan ditemukan bahwa dia adalah seorang penganut materialisme sebagai agama dan pragmatisme sebagai jalan hidupnya. Mereka tidak mempunyai komitmen untuk tunduk pada apa pun, selain kepentingan ekonomi, sosial dan kebangsaan. Yang menjadi sesembahan mereka adalah bukan dari jenis spiritual, melainkan kemakmuran.
"Peradaban Barat tidak menafikan Tuhan secara mentah-mentah, artinya menolak secara mutlak dan terang-terangan, melainkan peradaban ini tidak melihat satu bidang dan satu manfaat pun bagi Tuhan dalam sistem pemikirannya yang sekarang. Demikian orang-orang Eropa modern memunyai kecenderungan untuk menisbahkan kepentingan praktis itu hanya kepada pemikiran-pemikiran yang berada dalam domain ilmu-ilmu yang bersifat emperis, atau ilmu-ilmu yang diharapkan setidaknya dapat memberi pengaruh pada hubungan sosial dalam kehidupan manusia dengan cara yang dapat dipahami. Oleh karena Tuhan tidak berada pada wilayah ini dan itu, maka intelektualitas Barat cenderung untuk menjatuhkan Tuhan dari wilayah konsep-konsep praktis."
Bangsa modem - baik yang menganut demokrasi maupun fasisme, kapitalisme maupun borjuisme, industriawan maupun pemikir - mengenal satu agama positif yaitu menyembah pada kemajuan materiil, suatu keyakinan bahwa dalam hidup ini tidak terdapat tujuan lain selain menjadikan hidup itu sendiri lebih mudah dan terus bertambah mudah.
Bentuk kerangka agama ini - yaitu gereja dan tempat peribadatannya - ialah pabrik-pabrik raksasa, gedung bioskop, laboratorium kimia, tempat¬tempat dansa, dan pusat -pusat tenaga listrik. Sedangkan para pendeta agama ini adalah para bankir, arsitek, bintang film, tokoh industri, dan pilot angkutan udara! Akibat yang tidak dapat dihindarkan dalam keadaan ini adalah; upaya keras untuk mencapai kekuatan dan kenikmatan yang dengan demikian menciptakan kelompok-kelompok yang saling bertikai dengan kekuatan senjata disertai tekad untuk memusnahkan satu sama lainnya bila teIjadi benturan kepentingan masing-masing.
Adapun pada aspek kebudayaan, peradaban Barat telah melahirkan satu jenis manusia yang filsafat moralnya berkisar hanya mengenai masalah-masalah pragmatisme dan yang menjadi pembeda tertinggi antara kebaikan dan keburukan adalah kemajuan materiil, bukan lainnya.
lnilah yang juga tengah melanda sebagian besar kaum muslimin.  Paham materialisme telah meresap dalam setiap pola berfikir dan bertindak. Satu contoh adalah sikap sebagian mereka dalam memandang pernikahan. Hal yang pertama kali terpikir oleh seorang bapak yang anaknya akan dilamar adalah; berapa modal yang sudah disiapkan oleh calon menantunya, lengkap dengan semua perangkat yang bersifat materi. Jarang sekali dari mereka yang lebih mempertimbangkan faktor akhlak dan agama.
Dalam ranah sosial juga demikian. Segala hubungan yang tidak mendatangkan keuntungan materi akan dinomorduakan. Apapun pilihan amal yang dikerjakan harus menghasilkan materi. Dampak paham ini tentu saja meluas hingga akhimya merusak nilai-nilai persaudaraan Islam. Tidak ada lagi keikhlasan dan pengorbanan. Semuanya telah diukur dengan paramater materi.
Dalam ranah dakwah juga kita dapati paham ini telah merasuk sedemikian dalam. Fenomena dakwah intertainment dengan da'i-da'i artis yang ada di dalamnya semakin menguatkan dugaan ini. Untuk sekali tampil di panggung, tidak jarang dari mereka yang berani menentukan tarif minimal kepada objek dakwahnya. Para juru dakwah yang paling diminati oleh masyarakat juga telah rusak parameternya. Kualitas dan isi materi dakwah yang seharusnya sarat dengan penyampaian kebenaran tidak terlalu penting.  Faktor ketampanan juru dakwah, kelihaian membuat orang terbahak-bahak, dan kemeriahan acara yang digelar telah menjadi tolok ukur bagi sukses dan tidak suksesnya seorang jur'u dakwah.
3. Paham Sekularisme
Agama menurutpandangan Barat adalah hubungan antara manusia dan Tuhannya yang tempatnya ada dalam hati sanubarinya. Jika hati sanubari keluar dari dalam dadanya, maka tidak diperbolehkan melewati pagar-pagar gereja atau tempat peribadatan.  Bukan urusan agama untuk memasuki wilayah undang-undang dan aturan negara dan menerapkan ajaran-ajarannya dan hukum-hukumnya pada institusi yang mengatur masyarakat; pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, publisistik, managemen, politik, dan hukum.
Inilah cara berfikir sebagian kaum muslimin dalam menyikapi tugas dan kewajiban beragama; hanya dipahami sebatas amalan hati yang tidak ada sangkut pautnya dengan amalan lahir.  Jilbab, amar makruf nahi mungkar, jihad fi sabilillah, penegakkan syari'at Islam, pelaksanaan hukum-hukum hudud; semua itu tidak boleh diberlakukan dengan alasan bahwa itu bagian dari politik yang tidak berhubungan sama sekali dengan urusan agama.
Urusan pemerintahan, urusan makan dan minum, urusan nikah dan berumah tangga, urusan pekerjaan di kantor, eksploitasi alam semesta dan beragam muamalah lainnya dianggap tidak memiliki korelasi dengan hukum Islam.
Paham sekulerisme ini terus dikampanyekan melalui berbagai media. Asia Foundation telah memberikan dana yang tidak sedikit kepada komunitas Jaringan Islam liberal untuk menyebarkan paham dan wacana sekulerisme ini.
4. Konflik
Di antara sifat peradaban Barat adalah bahwa ia merupakan satu peradaban yang memunyai sifat konflik, tidak mengenal perdamaian dan ketentraman serta cinta kasih. Yaitu suatu konflik yang meresap ke dalam seluruh aspek, beragam bentuknya, bermacam-macam bidangnya, dan berbeda senjata dan gayanya; konflik antara manusia dengan dirinya; konflik antara manusia dengan alam; konflik antara manusia dengan sesama manusia; dan konflik antara manusia dengan Tuhan.
Manusia di Barat memunyai konflik melawan fitrahnya sendiri. Jika ia menginginkan hidup secara ideal seperti yang diajarkan oleh agamanya, yaitu Kristen, idealisme dalam ajarannya mengharuskan ia menghindari kebebasan perilaku seksual; menolak kekayaan, sebab orang kaya tidak dapat memasuki kerajaan Tuhan; menghindarkan diri dari kemewahan, perhiasan duniawi, menerima tanpa membalas kejahatan dengan kejahatan, dan memberikan pipi kiri bila yang kanan dipukul. Jika tidak dapat melakukan demikian - sebagaimana yang dialami oleh kebanyakan orang- maka konflik antara idealisme ajaran agama yang dianut dan realitas yang dihadapi dalam hidupnya tetap berlangsung dalam dirinya.
Manusia peradaban Barat juga berada dalam konflik dengan alam.  Sebab ia bertolak dari pijakan bahwa alam adalah musuhnya yang harus dihadapi dan dikuasai. Oleh karenanya di Barat ada istilah "menaklukkan alam", yaitu suatu ungkapan yang jelas arah dan artinya. Sementara Islam memandang alam dengan segala isinya diciptakan oleh Allah untuk keperluan hidup manusia, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qur' an:
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin." (QS Luqman [31]:20).
Rasululah juga mengungkapkan dalam hal ini, tentang gunung Uhud, dengan sabdanya: "Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kamipun mencintainya. "3)
Manusia dalam peradaban Barat mengalami konflik dengan sesama manusia, yaitu konflik yang memunyai bentuk yang berbeda-beda. Suatu saat konflik itu terjadi antar individu untuk memperebutkan kepentingan individu masing-masing. Apalagi peradaban ini membuka peluang bagi dominasi karakter individualisme dan filsafat pragmatisme, sehingga muncul pameo bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.  Pada saat lain, konflik ini terjadi antar kelas dan kelompok sosial khususnya yang diakibatkan oleh agitasi masing-masing kelompok demi kepentingan dirinya. Sedangkan keburukan dan kehinaan milik kelompok lain.
Implikasi dari paham ini adalah sikap rakus, tamak dan serakah manusia dalam memenuhi tuntutan dan keinginannya. Paham bahwa alam harus 'ditaklukkan' juga telah merasuk pada komunitas akademisi dan mereka yang aktif dalam dunia sains. Dengan berbekal logika dan akal yang dangkal, mereka sulit menerima bila setiap ada bencana alam dan musibah yang menimpa manusia selalu dikaitkan dengan campur tangan Allah. Yang mereka tempuh justru berfikir dan berfikir untuk menciptakan teknologi terbaru agar semua musibah dan bencana itu bisa ditaklukkan dan ditundukkan.  Tidak pernah sedikitpun merenung dan memohon kepada Allah - sebagai pemilik dan penguasa mutlak atas alam semesta ini - agar musibah itu dihilangkan dan ditukar dengan nikmat.  Barangkali tabi'at konflik yang merupakan pilar dari peradaban barat ini telah masuk ke dalam otak sebagian mereka
5. Sikap Superioritas Atas Bangsa Lain.
Rasa lebih tinggi atau superioritas Barat atas bangsa yang lainnya adalah satu sifat lain bagi peradaban Barat.  Sikap superioritas ini begitu mendalam merasuk dalam mentalitas Barat. Mereka berkeyakinan memunyai ras yang lebih unggul daripada bangsa lain dan lebih biru darahnya. Mereka diciptakan - menurut anggapan mereka sendiri - untuk memimpin dan menguasai bangsa lain. Sedangkan bangsa lain dicipta untuk mengabdi kepada kepada mereka. Inilah watak dasar yang ikut mewarnai peradaban Barat.  Oleh karenanya muncul teori di kalangan mereka yang disebut Racial superiority, yaitu bahwa manusia tidak sama.
lmplikasi paham ini dapat kita lihat bagaimana status sosial dan kehormatan seseorang tidak lagi berdasarkan akhlak dan kemuliaan, melainkan pada kedudukan dan materi yang disandang. Seseorang memuliakan orang lain tidak lagi karena keluhuran budi pekerti dan keagungan akhlaknya, melainkan karena tingginya kedudukan seseorang dan kecukupan materi yang bersamanya.
Inilah barangkali beragam fenomena akhir zaman yang hari ini sedemikian nyata terlihat dan menjelma pada banyak komunitas umat Islam. Wallahu a'lam bish shawab.

 
1. HR. Bukhari (7319) Al-I'tisham bil-Kitab was-Sunnah.
2. HR. Bukhari (3456) Muslim (2669)
3. HR. Bukhari, Tirmidzi, Ahmad, dan Thabrani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar