
Oleh : Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya :
[1]. Pada beberapa hari belakangan ini, 
kami menyaksikan betapa gencarnya liputan mass-media mass-media (cetak 
maupun elektronik) dalam rangka menyambut datangnya tahun 2000M dan 
permulaan Milenium Ketiga seputar kejadian-kejadian dan 
prosesi-prosesinya. Terlihat bahwa orang-orang kafir dari kalangan 
Yahudi dan Nashrani serta selain mereka begitu suka cita menggantungkan 
harapan-harapan dengan adanya hal itu.
Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia. 
Sesungguhnya sebagian mereka yang menisbatkan diri sebagai orang Islam 
telah juga menunjukkan perhatiannya terhadap hal ini dan menganggapnya 
sebagai momentum bahagia sehingga mengaitkan hal itu dengan pernikahan, 
pekerjaan mereka atau memajang/menempelkan pengumuman tentang hal itu di
 altar-altar perdagangan atau perusahaan mereka dan lain sebagainya yang
 menimbulkan dampak negatif bagi seorang Muslim.
Dalam hal ini, apakah hukum 
mengangungkan momentum seperti itu dan menyambutnya serta saling 
mengucapkan selamat karenanya, baik secara lisan, melalui kartu khusus 
yang dicetak dan lain sebagainya, menurut syari'at Islam ? Semoga Allah 
memberikan ganjaran pahala kepada anda atas amal shalih terhadap Islam 
dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik ganjaran.
[2]. Dalam versi pertanyaan yang lain : 
Orang-orang Yahudi dan Nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang 
tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang 
tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan
 mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.
Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh
 dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala 
sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan 
potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum 
ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum
 Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim.
Kami berharap mendapatkan penjelasan 
anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum 
kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. Demikian juga hukum 
menon-aktifkan kegiatan kerja oleh sebagian lembaga dari perusahaan 
berkenaan dengan hal itu.
Apakah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut dan semisalnya atau rela terhadapnya mempengaruhi aqidah seorang Muslim ?
Jawaban.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar 
yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam 
dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah 
Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon 
hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka. Mereka memohon kepadaNya agar 
mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal
 ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini 
sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih 
yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan 
orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik 
yang menyimpang darinya.
Bila hal ini sudah diketahui, maka 
adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah 
kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui 
ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga 
nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat 
menjaga hilangnnya nikmat tersebut.
Bagi orang yang diberikan bashiroh 
(pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini
 yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada 
kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang 
dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan 
memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta 
memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang 
memungkinkan. Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan 
tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh 
manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan 
kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini 
dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.
"Sebagian besar ahli kitab menginginkan 
agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami 
beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah 
nyata bagi mereka kebenaran" [QS Al-Baqarah 2:109]
"Segolongan dari ahli kitab ingin 
menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan 
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [QS Ali-Imran 
3:69]
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
 mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu 
ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi"
 [QS Ali-Imran 3:149]
"Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa 
kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman,
 kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah 
sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [QS Ali Imran 3:99]
Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi 
meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan 
kitabNya, dalam firmanNya.
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [QS Al-Hijr 15:9]
Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  
telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya 
yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang 
menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat. 
Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya 
Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan 
saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, 
sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil 
Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan 
yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan 
orang-orang Yahudi dan Nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri 
kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah 
berakhirnya momentum tahun 2000 dan menyongsong Milenium Ketiga menurut 
Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah 
wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum 
Muslimin tentang hakikat momentum ini serta hukum syariat yang suci ini 
terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan 
berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam 
kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang 
nashrani yang sesat.
Karenanya, kami menyatakan.
Pertama.
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan 
Nashrani menggantungkan kejadian-kejadian, keluh-kesah dan 
harapan-harapan mereka kepada momentum Milenium ini dengan begitu yakin 
akan terealisasinya hal itu atau paling tidak, hampir demikian karena 
menurut anggapan mereka hal ini sudah melalui proses kajian dan 
penelitian. Demikian pula, mereka mengait-ngaitkan sebagian permasalahan
 aqidah mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal
 dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. Jadi, adalah wajib 
bagi seorang Muslim untuk tidak menoleh kepada hal itu dan tergoda 
olehnya bahkan semestinya merasa cukup dengan Kitab Rabbnya Ta'ala dan 
Sunnah Nabinya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  dan tidak memerlukan lagi 
selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan pendapat-pendapat yang 
bertentangan dengan keduanya, ia tidak lebih hanya sekedar berupa ilusi 
belaka.
Kedua.
Momentum ini dan semisalnya tidak luput 
dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada 
kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh) dan atheisme serta 
pemunculan sesuatu yang menurut syari'at adalah sesuatu yang mungkar. Di
 antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama 
(pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat
 lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syi'ar-syi'ar 
kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani serta 
perbuatan-pebuatan dan ucapan-ucapan semisal itu yang mengandung 
beberapa hal ; bisa jadi, pernyataan bahwa syari'at Yahudi dan Nashrani 
yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat menyampaikan kepada Allah.
 Bisa jadi pula, berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran 
kedua agama tersebut yang bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal 
selain itu yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan RasulNya, 
kepada Islam dan ijma' umat ini. Belum lagi, hal itu adalah sebagai 
salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari ajaran-ajaran agama 
mereka.
Ketiga
Banyak sekali dalil-dalil dari 
Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk 
menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan 
kekhususan mereka. Di antara hal itu adalah menyerupai mereka dalam 
perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar ('Ied) 
maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk 
didalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang, yang 
diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat 
orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, 
setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau 
waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar ('Ied) mereka. 
Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus 
buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka 
agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam dien Islam, 
demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya 
juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum 
dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana 
yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di 
antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari
 besar mereka adalah firmanNya.
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu" [QS Al-Furqan  25:72]
Ayat ini berkaitan dengan salah satu 
sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu 
Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di 
dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Dalam hadits yang shahih dari Anas bin 
Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu 
'Alaihi wa Sallam  datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar 
('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini
 ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa
 Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.
"Sesungguhnya Allah telah menggantikan 
bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : 
Iedul Adha dan Iedul Fithri" [1]
Demikian pula terdapat hadits yang 
shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia 
berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah 
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  untuk menyembelih onta sebagai qurban di 
Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  
sembari berkata.
"Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk 
menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu 
'Alaihi wa Sallam  bertanya, 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu 
dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, 
'Tidak'. Beliau bertanya lagi. 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu 
dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak'. Rasulullah 
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda, 'Tepatilah nadzarmu karena 
tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di
 dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" [2]
Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu 
'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di 
gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena 
sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" [3]
Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" [4]
Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash 
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di 
negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti 
mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, 
maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" [5]
Keempat.
Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, di antaranya :
(a). Menyerupai mereka dalam sebagian 
hari besar mereka mengandung konsekwensi bergembira dan membuat mereka 
berlapang dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan.
(b). Menyerupai mereka dalam gerak-gerik
 dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah akan mengandung 
konsekwensi menyerupai mereka pula dalam gerak-gerik dan bentuk pada 
hal-hal yang bersifat batiniah yang berupa 'aqidah-aqidah batil melalui 
cara mencuri-curi dan bertahap lagi tersembunyi.
Dampak negatif yang paling besar dari 
hal itu adalah menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah akan 
menimbulkan sejenis kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin.
 Mencintai dan loyal terhadap mereka menafikan keimanan sebagaimana 
firman Allah Ta'ala.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
 kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi 
pemimpin-pemimpin (mu) ; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi 
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi 
pemimpin ; maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. 
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang 
zhalim" [QS Al-Maidah 5:51]
Dan firmanNya.
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum 
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang 
dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya" [QS Al-Mujadillah 
58:22]
Kelima.
Berdasarkan paparan yang telah 
dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang 
beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad
 sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar 
yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 
'Milenium' rekaan tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, 
berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun 
karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan
 Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di 
atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena 
sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [QS Al-Maidah 5:2]
Keenam.
Seorang Muslim tidak boleh saling tolong
 menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari 
besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan 
hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut. 
Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui 
mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, 
membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu
 dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan
 hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga 
ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.
Ketujuh
Seorang Muslim tidak boleh menganggap 
hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan 
tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu 
yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan 
perkawinan, memulai aktivitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan 
lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu 
memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena 
hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena 
hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat 
sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita 
memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.
Kedelapan
Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan 
selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu 
merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan 
dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata " Adapun
 mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir 
yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para 
ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka 
dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' 
atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, 
kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan 
lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan 
bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud 
terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar 
dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh
 jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang 
yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke 
dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa
 saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu 
maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah 
mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"
Kesembilan.
Adalah suatu kehormatan bagi kaum 
Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad
 Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat 
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan 
kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun
 temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad 
yang lalu hingga saat ini. Karenaya seorang Muslim tidak boleh 
mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat 
selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan 
menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami 
wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar 
bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan 
menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu 
dan sabar atasnya.
Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan 
antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia
 dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, 
menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan 
Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan 
sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan 
Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
 Sallam  berikut ini.
"Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi.
 Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal 
yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku 
terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya 
Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi
[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]
__________
Foote Note
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah No. 1134, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar, No. 3313 denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy No. 18640
[4]. Ibid No. 18641
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin, No. 770
Foote Note
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah No. 1134, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar, No. 3313 denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy No. 18640
[4]. Ibid No. 18641
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin, No. 770
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il 
Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia 
Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi
Sebelum membahas lebih lanjut sekedar informasi supaya kita sebagai 
muslim bisa berhati-hati sebelum melakukan perbuatan. Sebab, berdasarkan
 kaidah fiqih dalam ajaran agama Islam, bahwa hukum asal suatu perbuatan
 adalah terikat dengan hukum syara (sayriat Islam). Itu sebabnya, 
sebelum melakukan suatu perbuatan kita harus tahu apakah perbuatan 
tersebut dihukumi sebagai perbuatan yang dibolehkan, diwajibkan, 
disunnahkan, diharamkan atau dihukumi sebagai makruh. Lalu apa hukumnya 
merayakan tahun baru masehi bagi seorang Muslim? Jawaban singkatnya 
adalah SSTBAH alias sangat sangat tidak boleh alias haram. TITIK. 
Mengapa Tidak boleh atau HARAM?? Berikut penjelasannya.
Mengapa Tidak boleh atau HARAM?? Berikut penjelasannya.
Bahwa merayakan tahun baru masehi adalah bukan tradisi dari ajaran 
Islam. Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan 
tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri larut dalam gemerlap 
pesta kembang api atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat 
tetap aja nggak lantas menjadikan tuh perayaan jadi boleh atau halal. 
Sebab, ukurannya bukanlah banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi 
patokannya kepada syariat.
Jadi, sekadar tahu aja nih, tahun baru masehi itu sebenarnya 
berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani, lho. Masehi kan nama lain 
dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya begini, menurut 
catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang 
membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal 
bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika 
mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus 
Kristus.
 Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama 
Dionisius yang kemudian? memanfaatkan penemuan kalender dari Julius 
Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun
 kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah 
kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang 
berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk zaman 
prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi).
 Nah, Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang 
sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya 
sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa 
Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi 
siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi 
dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nashrani. The
 Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it 
uses the birth of Jesus Christ as a starting date, demikian keterangan 
dalam Encarta.
 Di zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa 
Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua-ini bukan munafik maksudnya, 
tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan 
dan belakang, depan bisa belakang bisa, kali ye?). Kemudian perayaan ini
 terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi).
Seiring muncul dan berkembangnya agama Nashrani, akhirnya perayaan 
ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan suci 
sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalo ucapan Natal dan 
Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year, gitu lho.
 Nah, jadi sangat jelas bahwa apa yang ada saat ini, merayakan tahun 
baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin. Tapi 
sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nashrani. Jangankan yang 
udah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari 
ritual mereka seperti tahun baru masehi dan ada hubungannya serta 
dianggap suci aja udah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Mengapa?
 Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai 
hari-hari besar mereka adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
 YANG ARTINYA
 Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu (QS al-Furqaan 25:72)
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang 
beriman. Ulama-ulama Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi bin 
Anas menafsirkan kata az-Zuura (di dalam ayat tersebut) sebagai 
hari-hari besar orang kafir. Itu artinya, kalo sampe seorang muslim 
merayakan tahun baru masehi berarti melakukan persaksian palsu terhadap 
hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, kita 
udah punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari 
Anas bin Malik ra, dia berkata, saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
 datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (Ied) untuk 
bermain-main. Lalu beliau bertanya, Dua hari untuk apa ini? Mereka 
menjawab, Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah. 
Lantas beliau bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi 
kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha
 dan Iedul Fithri (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 
11595, 13058, 13210)
Terus, boleh nggak sih kita merayakan tahun baru karena niatnya bukan
 menghormati kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nashrani? Ya,
 sekadar senang-senang aja gitu, sekadar refreshing deh. Hmm.. ada 
baiknya kamu menyimak ucapan Umar Ibn Khaththab: Janganlah kalian 
mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka 
pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun 
atas mereka (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640) Umar ra. 
berkata lagi, Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar
 mereka (ibid, No. 18641)
Dalam keterangan lain, seperti dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra, 
dia berkata, Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu
 membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka 
hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan 
pada hari kiamat bersama mereka (Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 
Syarh hadits no. 3512)
 Nah, berkaitan dengan larangan menyerupai suatu kaum (baik ibadahnya, adat-istiadanya, juga gaya hidupnya), Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
 bersabda: Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk 
golongan mereka (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya jilid II, hlm. 50).
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang 
berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan 
mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti 
mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan 
mengikutinya.
 Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i 
adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, 
baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku
 yang menunjukkan ciri khas mereka. Hmm.. catet ye!
 Tahun baru, dosa baru? 
Waduh, masa sih kita memulai bilangan tahun dengan dosa baru? Apalagi
 untuk dosa lama aja kita belum pernah melakukan tobatnya, tapi udah 
bikin dosa baru. Keterlaluan abis deh kalo sampe punya cita-cita seperti
 itu. Tapi kenyataannya, ternyata banyak di antara kita yang malah 
merayakan tahun baru masehi dengan melakukan aktifitas maksiat. Kasihan 
deh! Boys and gals, sebenarnya dalam pandangan Islam, untuk mengevaluasi
 diri selama ini udah ada tuntunannya dalam al-Quran, sebagaimana firman
 Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
 Demi Waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam 
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh 
dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati 
supaya menetapi kesabaran (QS al-Ashr 103:1-3)
 Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
 Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan 
baik amalannya, dan sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang diberi 
panjang umur dan jelek amalannya. (HR Ahmad).
 Orang yang pasti beruntung adalah orang yang mencari kebenaran, 
orang yang mengamalkan kebenaran, orang yang mendakwahkan kebenaran dan 
orang yang sabar dalam menegakan kebenaran. Mengatur waktu dengan baik 
agar tidak sia-sia adalah dengan mengetahui dan memetakan, mana yang 
wajib, sunah, haram, mana yang makruh, dan mana yang mubah. Intinya kudu
 taat sama syariat Islam.
 Itu artinya perubahan waktu ini harusnya kita jadikan momentum (saat
 yang tepat) untuk mengevaluasi diri. Jangan malah hura-hura bergelimang
 kesenangan di malam tahun baru masehi. Sudahlah merayakannya haram, eh,
 caranya maksiat pula. Halah, apa itu nggak dobel-dobel dosanya? 
Naudzubillahi min dzalik!
 Sobat muda muslim, nggak baik hura-hura, lho. Hindari deh ya. Jangan sampe lupa diri. Itu sebabnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mewanti-wanti tentang dua hal yang bikin manusia tuh lupa diri. Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: Ada dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan. (HR Bukhari).
 Nggak baik kalo kita nyesel seumur-umur akibat kita menzalimi diri 
sendiri. Sebab, kita nggak bakalan diberi kesempatan ulang untuk berbuat
 baik atau bertobat, bila kita udah meninggalkan dunia ini. Firman Allah
 Subhanahu wa Ta'ala:
 YANG ARTINYA
Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang 
zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesempatan 
bertaubat lagi. (QS ar-Rum 30:57).
 Jadi, nggak usah deh kita ikutan heboh merayakan tahun baru masehi. 
Kita evaluasi diri, dan itu dilakukan setiap hari biar lebih seru. 
Jangan nunggu pergantian tahun baru masehi, entar tobat belum eh udah 
mati duluan. Rugi berat! Yuk kita tingkatin terus amal baik kita, jangan
 cuma menumpuk dosa. Hari demi hari harus lebih baik. Yup, mari mulai 
sekarang juga untuk evaluasi diri. (gaulislam)
Sumber:http://alqurandansunnah.wordpress.com/2009/01/05/hukum-merayakan-tahun-baru-masehi/
Sumber:http://alqurandansunnah.wordpress.com/2009/01/05/hukum-merayakan-tahun-baru-masehi/
1. Hukum Merayakan Tahun Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati 
Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari 
Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 
Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan 
dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin 
Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang 
permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka
 pada masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama 
bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama 
tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari 
bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga 
saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya 
tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan 
hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa 
membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling 
tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai 
aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah 
hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada 
engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam 
timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص الأيام، أو الشهور، أو 
السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى 
الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان 
اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله 
عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، 
ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس 
لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.
 
ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا 
رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند
 رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر. كتبه 
محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ
Jawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau 
tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya 
adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu 
ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam datang datang ke 
Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang 
mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari 
ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira 
padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
 bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut 
dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat 
kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian 
penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan 
ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun 
(hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti 
kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan 
penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan 
Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas,  jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru 
Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, 
karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at 
Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul 
Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan 
orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru 
Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan
 memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum 
muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun 
mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru 
Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran 
sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun
 Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
2. Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram:
سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله ما حكم التهنئة بالسنة الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟ فأجاب رحمه الله :
إن هنّأك احد فَرُدَّ
 عليه ولا تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه المسألة لو قال لك إنسان
 مثلاً نهنئك بهذا العام الجديد قل : هنئك الله بخير وجعله عام خير وبركه ،
 لكن لا تبتدئ الناس أنت لأنني لا أعلم أنه جاء عن السلف أنهم كانوا يهنئون
 بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا المحرم أول العام الجديد إلا 
في خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. انتهى
المصدر
 إجابة السؤال رقم 835 من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب المفتوح 
الإصدار الأول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و الإرشاد 
بعنيزة
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya :Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru islam. Bagaimana menjawab ucapan selamat tersebut.
Syaikh menjawab: Jika seseorang 
mengucapkan selamat,maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang 
memulai.Inilah pandangan yang benar tentang hal ini.Jadi jika seseorang 
berkata pada anda misalnya:”Selamat tahun baru!, anda bisa menjawab 
“Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan ditahun ini kepada anda” 
Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya atsar salaf 
yang saling mengucapkan selamat hari raya. Bahkan Salaf tidaklah 
menganggap 1 muharram sebagai awal tahun baru sampai zaman Umar bin 
Khattab radhiallahu ‘anhu. Sumber:  http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/19/hukum-mengucapkan-selamat-tahun-baru-islam
Terkait: Sejarah Peringatan Dan Penentuan Tahun Baru Masehi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar